Alkisah Jalaluddin Rumi tengah menjamu makan malam gurunya Syams Tabriz. Lalu gurunya meminta disediakan arak untuk menghangatkan tubuh. Rumi terkejut, “bagaimana aku akan membeli arak, seluruh kota mengenalku?”
Namun demi bakti kepada guru, ia menyelinap di tengah malam dengan jubahnya, pergi ke kedai yang menjual arak berharap tidak ada yang tahu.
Namun naas, ada orang yang melihat Rumi di kedai minuman dan ia mengajak orang-orang untuk terus mengikuti Rumi. Orang-orang penguntit pun semakin banyak, hingga tibalah Rumi di depan masjid dimana ia menjadi imamnya.
Salah satu di antara gerombolan itu mendekati rumi dan menyibak jubahnya. Tampaklah botol minuman tergenggam di tangan rumi, yang nampak berusaha ia sembunyikan.
“Ternyata, begini orang alim yang kita hormati dan ikuti fatwanya. Orang yang selama ini kita jadikan imam. Ia peminum arak yang diharamkan!” Kata orang itu.
Gerombolan orang-orang itu pun mendekat kepada rumi, meludahi, memukul bahkan hampir membunuh. Rumi hanya diam saja, tanpa pembelaan diri. Seolah ia memang layak dipersalahkan.
Akhirnya Syams Tabriz ke luar rumah.
“Kenapa kalian menuduh dan menyakiti orang alim ini?”
“Dia meminum miras!” Jawab mereka.
“Sudahkah kalian melihat apa yang ada di botolnya? Lihatlah!” Seru Syams Tabriz sembari mengambil botol di tangan Rumi, dan menetesknnya di tangan orang-orang itu.
“Bukankah ini air putih biasa?” Lanjutnya, diikuti pandangan heran orang-orang. Mereka pun tertunduk dan mohon maaf di hadapan Rumi, sebelum akhirnya mereka pergi satu per satu.
“Kenapa kau melakukan ini kepadaku Guru? Malam ini aku mendapati penghinaan yang nyata.”
“Kebaikan dan kemuliaan yang kau bangun bertahun-tahun, bisa lenyap dalam sekejap. Apa kau pikir penghormatan mereka adalah sesuatu yang abadi? Hanya dengan dugaan sebotol arak, mereka seketika meludahi dan merendahkanmu, bahkan akan membunuhmu.
Inikah kebanggaan yang selama ini kau perjuangkan? Nama baik yang kau banggakan?Jangan bersandar pada penilaian makhluk, bersandarlah pada yang abadi yang tidak lekang oleh masa….”

Oleh: Zakiyah Darojah
Nama Baik yang Menjadi Hijab