Belum juga usai badai pergolakan di masyarakat akibat serbuan Covid-19, badai-badai lainnya menyusul bertubi-tubi. Gonjang ganjing pilkada, di tengah pandemi yang memicu perdebatan di mana-mana. Pro kontra omnibus law, yang memicu ketegangan bukan hanya antara buruh, pemerintah, dan legislatif, tapi juga semua elemen masyarakat. Baik yang ahli di bidang tersebut maupun rakyat bawah yang bahkan tidak tahu menahu apa itu omnibus law, turut menyuarakan gejolak pikirannya.
Hingga akhirnya berujung pada demo di hampir seluruh penjuru kota di Indonesia yang di beberepa kota berakhir ricuh. Seperti biasa, demo yang diharapkan sebagai bentuk aspirasi rakyat bawah, berujung pada pengrusakan fasilitas rakyat.
Benarkah segala bentuk gonjang-ganjing itu hanya soal undang-undang cipta kerja? benarkah itu hanya soal pilkada yang tetap akan dilangsungkan di masa pandemi? benarkah itu hanya soal Covid-19 yang belum bisa diatasi dengan efektif?
Kalau dilihat dari runtutan sejarah pasca reformasi saja, saya rasa huru hara memang tidak pernah usai. Selalu ada saja suatu hal yang membuat geger negeri ini. Bahkan, saya rasa sejak proklamasi kemerdekaan, dimana saat itu saya belum lahir, huru hara selalu ada dari tahun ke tahun dengan wajah konflik yang berbeda-beda.
Lalu kapan semboyan baldatun toyyibatun warobbun ghofur bisa kita rasakan di negeri ini? sebagaimana negeri Saba yang mendapatkan julukan tersebut oleh Tuhan, yang diabadaikan di dalam kibat suci. Semboyan ini sering digaungkan pemimpin negeri. Namun apakah itu hanya sebuah mimpi, atau sekedar sebuah motivasi agar rakyat terus memiliki harapan semangat hidup di negeri ini?
Atau barangkali, konflik-konflik itu memang akan selalu ada selama masih hidup di dunia? Sebagai suatu yang tidak bisa dihindari, untuk tantangan hidup dari generasi ke generasi? Sebagaimana setiap kehancuran, selalu menjadi sebab terciptanya sesuatu yang baru. Seperti setiap tantangan, akan memunculkan sebuah solusi. Demikian juga setiap masalah, akan membawa sebuah hikmah.
Jika kita berharap hidup di dunia ini atau minimal negara ini, dengan kehidupan yang yang selalu aman, tentram, damai, nampaknya itu memang hanya ilusi. Nyatanya dalam setiap kurun waktu, selalu ada prahara yang menyertahi tahun-tahun hidup kita ini.
Jika ada kedaiaman, di sana juga ada konflik. Jika ada keamanan, di sana juga ada kejahatan. Jika ada ketentraman, di sana juga ada keriuhan. Barangkali memang beginilah fenomena yang kita hadapi di kehidupan dunia ini. Selalu ada paradox hidup yang memang harus berjalan sedemikian rupa. Sebagaimana Tuhan menciptakan malaikat sekaligus juga menciptakan iblis.
Berarti semua konflik, semua huru hara, memang sudah semestinya terjadi begitu dong? Lalu kita musti berbuat apa, apakah diam saja? toh apa pun yang kita perbuat tidak menghambat juga tidak menjadikan sesuatu yang tidak kita inginkan itu terjadi?
Kadangkala saya juga bingung sendiri. Kita sudah diberikan akal, semestinya digunakan untuk berpikir sehat dalam mencerna informasi, bersuara, juga bersikap. Namun, seringkali akal kita entah ditaruhnya dimana, sehingga yang terelasisasi adalah akal golongan apa, akal partainya siapa, akal kubu yang mana dan lain sebagainya. Akal sendiri tidak dipakai.
Akhirnya yang terjadi adalah mudahnya penggiringan opini, penggiringan perilaku, penggiringan masa, oleh orang-orang yang “berkuasa” atas diri mereka. Entah pimpinan agama, pimpinan golongan, pimpinan partai, public figur, dan lain-lain yang mereka setujui.
Ingat teori konformitas? Orang akan berperilaku karena terpengaruh oleh perilaku sosial di sekitarnya, demi agar sesuai dengan kebanyakan orang. Tentu saja kebanyakan orang yang dimaksud adalah mereka yang dirinya merasa ada di dalam lingkungan sosial itu. Nah beginilah kadang kita bersikap dan berperilaku. Bukan karena akal sehat kita sendiri, tapi karena konformitas.
Jika bangsa ini, tidak segera sadar bahwa kita sangat dipengaruhi oleh konformitas, maka kita tidak akan belaja apa pun dari badai-badai konflik yang mungkin akan terus bergulir silih berganti tiada henti. Baik persoalan kecil apalagi yang besar, akan dijadikan api penyulut bergolakan dan permusuhan.
Minimnya literasi, kesenjangan ekonomi, carut marutnya sistem politik, minimnya toleransi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan), rendahnya kepercayaan masyarakat kepada pejabat negara, menjadi bahan bakar yang ampuh untuk menyulut pertikaian. Entah atas nama kebenaran yang mana, orang akan sangat mudah rela mati, demi memperjuangkan apa yang ia rasa benar.
Kita memang masih selalu berkutat pada merasa benar dan lebih mempersoalkan masalah. Bukankah yang utama adalah bagaimana mencari solusi dari masalah tersebut? Masalah tidak dicari saja selalu ada, apalagi jika dicari-cari dan “dibumbui” akan semakin gurih dan sedap. Barangkali ini yang menjadi PR kita bersama. Bagaimana fokus pada solusi, bukan masalah.
Tapi nyatanya, kita memang seakan-akan menyukai huru hara. Buktinya, di dunia nyata maupun maya, selalu ramai jika ada sebuah persoalan bangsa. Grup-grup keluarga, pengajian, RT, alumni sekolah dan lainnya, sibuk membahas yang sedang panas. Obrolan warung kopi, pasar hingga cafe berbintang pun sama ramainya. Tidak asik rasanya jika tidak ada yang dipergunjingkan dan diperdebatkan. Semakin ramai semakin seru. Begitulah memang masyarakat kita. Tidak yang duduk di atas tidak yang di bawah, sama saja.
Lalu, setelah rentetan peristiwa yang mengaduk-aduk emosi akhir-akhir ini. Prahara apalagi yang akan kita hadapi?
sumber foto: Pixaby.com