Kemarin saya menulis tentang akselerasi semesta, yang berpengaruh pada akselerasi sel manusia juga. Artinya, ada peningkatan kapasitas bagi manusia-manusia yang telah siap. Utamanya peningkatan kesadaran.
Pada abad pertengahan, di dunia barat antara religi dan sains mengalami gesekan yang tajam. Sains seakan-akan menjadi musuhnya religi, begitupun religi menjadi musuhnya sains. Contohnya kisah heroik galileo galilei, dan juga Copernicus, yang menggugat keyakinan saat itu, dengan penemuan sainsnya. Sementara di dunia belahan timur, semakin menurun kajian sainsnya, dan lebih mengutamakan pada keyakinan yang turun temurun. Meskipun masih kuat pengamal spiritual metafisiknya.
Seiring perkembangan zaman, sains mulai bisa diterima dikalangan agamawan sebagai penjelasan logis dari hal-hal yang selama ini sebatas dalil naqli dan diturunkan lewat doktrinasi. Juga sebaliknya, spiritualitas yang menjadi tonggak religi, mulai ditemukan dalam pendalaman penemuan-penemuan sains modern.
Dahulu, saking moncernya perkembangan sains di barat, sehingga sains seakan menjadi “agama” tersendiri bagi kaum saintis dan pengikutnya. Bahkan mungkin sampai sekarang masih. Namun, mereka yang tidak percaya ada kekuatan invisible hand pada penciptaan alam semesta itu, banyak yang mulai dapat menerima dengan ditemukannya bukti-bukti ilmiah itu.
Pun demikian, sekat-sekat dogmatis yang sangat tajam yang memisahkan manusia, yang menjadi legitimasi keangkuhan, kesombongan dan merasa superior, mulai sedikit demi sedikit memudar, terutama mengalami percepatan di era baru-baru ini.
Spiritual sains sebagai ilmu pengetahuan yang menjembatani antara dunia fisika dan metafisika, semakin banyak diminati dan diterima banyak orang. Ilmu spiritual sains menjadi jawaban bagi saintis, sekaligus penjabaran bagi kaum religius sehingga tidak bersandar pada keyakinan buta.
Pengetahuan pengetahuan yang mulai terbuka itu, hanya bisa diterima dan dipahami oleh mereka yang sudah siap. Yang akan mengantarkan mereka pada etape transendental menuju kesadaran universal.