Sang Ego

Syahdan, di negeri Basrah ada seorang salih yang tinggi maqomnya dan sangat mashur namanya, bahkan hingga ke negeri barat jauh. Kemudian ada seorang cerdik pandai dari negeri barat yang tertarik untuk meminta pengajaran dari sang guru.
.
Sesampainya di negeri Basrah dan bertemu sang salih, ia menuturkan maksud kedatangannya. Namun sang guru menolak, “saya tidak mengajarkan hal apapun.”
Sontak saja si cerdik pandai tidak terima dengan hal itu.
.
“Aku sudah menempuh perjalanan jauh menyeberangi samudera, tidakkah engkau bisa sedikit saja mengajari aku sesuatu ilmu?”
Sang salih mengelus janggutnya, “bukan aku tidak mau mengajarimu. Tetapi kamu tidak sanggup untuk aku ajari.”
Si cerdik pandai bingung. Bukankah dia melalui perjalanan panjang ini untuk mau diajari sang guru, bagaimana ia berpendapat bahwa dirinya tidak mau diajari? Kesungguhan dalam perjalanan ini tidakkah bisa sebagai bukti?
.
“Sungguh aku siap diajari apapun olehmu Guru.” Lanjut si cerdik pandai meyakinkan.
“Benarkah? Bahkan satu kalimat saja yang akan aku sampaikan, belum tentu kamu sanggup menerimanya!”
“Sungguh Guru, aku siap dan akan menerima semuanya.”
“Baiklah kalau begitu. Tanggalkan jubah kebesaranmu itu, dan gantilah dengan ini. Lalu kalungkanlah ini di lehermu, dan berjalanlah kamu di tengah pasar.” Kata sang salih, sembari memberikan secarik baju lusuh yang compang camping, dan kaleng bekas yang ditali.
.
Seketika si cerdik pandai terperanjat. Tuhan, benar saja, aku tak sanggup menerima pengajaran ini. Bisiknya dalam hati. Ia terdiam lama. Jika ia menolak, berarti ia ingkar janji. Namun jika ia terima, sungguh harga dirinya, jatuh ke dasar yang paling rendah. Ia adalah bangsawan dan ilmuwan yang terhormat di negerinya.
.
“Bagaimana, kau tak sanggup menerimanya?” Suara sang salih mengagetkan lamunan si cerdik pandai.
“Tidak Guru, aku… aku sanggup!” Jawab si cerdik pandai terbata-bata.
.
Benar saja, sesampainya di pasar, ia dilempari batu oleh anak-anak, dan dikata-katai sebagai orang gila. Ada juga yang berbelas kasih memberikan makanan dan juga uang logam. Diam-diam, dalam suasana batin yang “entah”, si cerdik pandia tertawa terbahak-bahak. Ia menikmati kegilaannya dan bersama anak-anak di pasar, bermain bersuka cita.
.
Sore harinya, ia kembali menghadap sang salih.
“Guru, pengajaranmu hari ini sangat membuka mata hatiku yang tertutup. Pertama kali dalam hidupku, aku lepas dari segala beban hidup yang aku jalani dengan sangat serius selama ini. Sehingga aku tidak pernah tertawa, meski hanya sejenak.
.
Ternyata untuk mengalami hidup, aku hanya perlu meletakkan semua keakuanku, karena sesungguhnya itulah beban terberatku. Aku hanya perlu merayakan setiap anugerah waktu dengan syukur dan suka cita.”
Foto pribadi @Alhambra Andalusia Spanyol
Sang Ego

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke Atas