
Waktu kecil, mainan direbut teman sudah membuat seorang anak menangis. Tumbuh besar, mainan tidak lagi membuat menangis, tapi dimarahin guru yang membuat menangis. Beranjak dewasa, dimarahin guru tidak masalah, namun patah hati yang membuat menangis. Tumbuh dewasa lagi, cinta sudah tidak jadi masalah, tapi tidak punya uang, banyak cicilan, banyak hutang, yang membuat menangis.
Hal-hal yang membuat menangis itu adalah suatu hal yang membuat seseorang merasakan perasaan sakit. Dan kita bisa lihat, semakin dewasa sesorang, semakin luas batas kemampuannya dalam menerima rasa sakit itu. Demikianlah sebenarnya jika manusia itu bertumbuh. Sehingga pada suatu titik, tidak ada lagi hal yang menyakitkan, karena menyadari semuanya adalah berkah Tuhan.
Namun, ada juga yang sudah dewasa namun tidak kunjung meluas batas rasa sakitnya. Umur sudah banyak masih rebutan “mainan”. Maka ada sebuah pepatah bahwa menua itu pasti, dewasa itu pilihan. Ia yang tumbuh mendewasa, akan semakin bijaksana.
Pada batas kedewasaan jiwa, sudah tidak ada lagi rasa sakit….bukan tidak ada lagi hal yang menyakitkan. Namun luasnya penerimaan hati yang membuat segala sakit menjadi netral. Yang tersisa, kata guru Gede Prama 3 S; Senyum-Senyum Sajaaa.
Sobat cinta sekalian, mau mempertahankan batas rasa sakitnya, atau meluaskannya?
Batas Menerima Rasa Sakit