Tidak dipungkiri, setiap kita belajar, baca buku, mendapat nasihat dan lain sebagainya pasti selalu disuruh untuk positive thinking. Sedang mengalami masalah, suruh berpikir positif. Menghadapi kekhawatiran masa depan, suruh berpikir positif. Menghadapi lingkungan yang menurut kita nggak baik, suruh berpikir positif. Menghadapi kegalauan di dalam diri sendiri, suruh berpikir positif. Ya, tidak salah si, itu memang baik. Kita berpikir positif berarti bagaimana menghadapi segala sesuatu dengan sudut pandang yang positif. Tetapi bukan tidak boleh berpikir negatif. Kalau pikiran kita disetting untuk selalu positif, malah bisa jadi over positive thinking.
.
Kenapa negatif thinking itu diperlukan? Salah satunya biar waspada. Orang Jawa sudah paham ini dari dulu kala, maka nasihat bijak dari leluhur Jawa adalah eling lan waspodo. Bukan berpikir positif. Eling lan waspodo hanya bisa dicapai ketika kita selalu sadar. Dan dalam kesadaran itu pasti ada pikiran negatifnya, yaitu untuk kewaspadaan.
.
Kalau keluar rumah, rumah dikunci, untuk keamanan. Apakah karena tidak boleh berpikir negatif, lalu keluar rumah tidak dikunci rumahnya? kan tidak. Mau pergi keluar kota kendaraan dicek terlebih dahulu, itu kan berpikir negatif, jangan-jangan ada mesin yang rusak tidak diketahui. Itu penting untuk waspada agar selamat. Bukan berpikir positif, ah semua baik-baik saja, besok selamat sampai tujuan. Itu namanya tidak waspada.
.
Orang terlalu positive thinking itu kadang kehilangan kewaspadaan. Gampang ketipu, gampang tergiur bisnis bodong, gampang kena rayuan pinjol, gampang ikut-ikutan judi online, akhirnya semua berujung pusing sendiri. Eh bukan pusing sendiri ding, orang lain ikutan dibuat pusing juga. Istrinya, suaminya, keluarganya bahkan orang jauh pun kecipratan pusing karena dimintain pinjem duit…Lha kan repot benar jadinya. Itu berawal dari over positive thingking.
.
Bahkan dalam hubungan suami istri pun dibutuhkan berpikir negatif. Hubungan saya dan suami, menjadi jauh lebih harmoni itu berawal dari negative thinking. “Eh suamiku tersinggung apa ya?” “Istriku marah apa ya?” Sehingga menjadi jalan komunikasi untuk mau minta maaf terlebih dahulu, untuk tahu apa yang diinginkan satu sama lain, untuk memahami apa yang tidak disukai satu sama lain dan lain sebagainya.
.
Kalau terlalu positif, “ah istriku baik-baik saja kok.” “Ah pasti suamiku baik baik saja.” “Ah pasti uang belanja cukup kok.” “Ah pasti istriku menerima aku apa adanya. “Ah pasti suamiku bangga dapat istri semacam aku.” Eeeh belum tentu. Bisa jadi suami atau istri kita tidak baik-baik saja lhoo. Bisa jadi dia ngempet marah, ngempet tidak puas, ngempet terluka dan lain sebagainya. Dan jika itu berlangsung bertahun-tahun, apa nggak memendam gunung bara itu di dalam dada masing-masing? Kesentuh percikan api kecil saja bisa meledak.
.
Dulu saya juga model orang yang terlalu positif. Jadinya tidak paham bahwa banyak yang perlu saya benahi dari diri saya sendiri. Omongan, perilaku, sikap, intonasi saat bicara, gestur tubuh, mimik wajah, semua jika saya tidak berpikir negatif, pasti saya merasa orang-orang di sekitar saya baik-baik saja. Padahal banyak yang terluka, banyak yang tidak suka, banyak yang mendem jengkel karena ulah saya. Itu karena saya berpikir positif bahwa saya orang baik dan benar. Bisa jadi kita terjebak dalam masalah nggak kelar-kelar, selalu ketimpa masalah, sulit menemukan jalan keluar, itu karena terlalu berpikir positif. Sehingga tidak melakukan introspeksi.
.
So, mari kita gunakan pikiran negatif sesuai kebutuhan, agar kita menjadi lebih baik dan juga jadi selalu eling lan waspodo. Semoga😊