Entah dari mana asalnya dan siapa yang mengajarkan, sehingga seakan menjadi lumrah jika orang satu dengan orang yang lainnya berlomba-lomba menjadi “lebih”. Lebih dalam harta, lebih dalam pendidikan, lebih dalam karier, lebih dalam jumlah anak, lebih dalam kepopuleran, bahkan lebih dalam hal berbuat kebaikan. Seakan-akan hidup ini persaingan antara satu orang dengan yang lainnya, sehingga merasa diri sendiri harus “lebih” dari yang lain.
Tengok saja sedari anak-anak. Mereka anak-anak secara tidak sengaja sudah diberikan konsep “bersaing”. Dari siapa yang lebih pintar, siapa yang lebih berani, siapa yang lebih percaya diri, siapa yang lebih baik mungkin juga menjadi penilaian tersendiri oleh para guru dan orangtua.
Memasuki masa remaja, mereka pun bersaing. Siapa yang lebih cantik / ganteng. Siapa yang lebih populer, siapa yang lebih disukai banyak teman dan lain-lain.
Memasuki masa dewasa, persaingan pun terus berlangsung. Siapa yang sudah punya apa-apa, siapa yang pekerjaannya lebih mapan, siapa yang lebih mudah menggaet lawan jenis, siapa yang kendaraan atau rumahnya lebih mewah, dan lain sebagainya.
Hingga usia menua, persaingan itu terkadang masih ada. Bisa dilihat dari kecemburuan ekonomi, kecemburuan sosial, saling sikut sana sini dalam jabatan, saling nyinyir ke sana ke mari, dan sebagainya.
Hal itu menunjukkan bahwa persaingan seakan sudah menyatu dalam nafas hidup manusia. Padahal jika semangat persaingan yang senantiasa dihembuskan (secara sengaja atau tidak sengaja), maka kehidupan akan diliputi hawa panas. Kedamaian yang didambakan, akan jauh panggang dari api. Kebahagiaan yang diidamkan hanya akan menjadi slogan semata.
Lihat saja dikehidupan sekitar kita. Bukankah banyak sekali orang galau karena melihat orang lain? sibuk menilai orang lain, sibuk membandingkan diri dengan orang lain, sibuk nyinyir dengan polah tingkah orang lain? yang kesemuanya itu sebenarnya bersumber dari ketidak-meniramaan diri sendiri. Sehingga tertuang keluar dalam bentuk keluhan-keluhan.
Memang penyakit hati yang mudah sekali merasuki jiwa manusia itu adalah iri dengki. SMS, Susah melihat orang lain senang, senang melihat orang lain susah. Jika ada yang mendapatkan nikmat dan kebaikan, terkadang iri. Sehingga timbul sikap untuk bersaing, agar lebih dari orang lain tersebut.
Ada pepatah mengatakan, we are born to complete, not to compete (kita terlahir untuk saling melengkapi, bukan untuk saling berkompetisi). Pepatah ini sangat benar sekali. Karena Tuhan menciptakan kita bukan untuk saling bersaing menjadi lebih dari satu dengan yang lainnya. Tapi Tuhan menciptakan manusia dengan keunikan masing-masing, agar mereka saling melengkapi untuk bersama-sama memakmurkan bumi.
Karena hal ini seakan sudah menjadi hal lumrah yang mendarah daging, maka barang kali yang dibutuhkan adalah segera sadar. Kita punya jalur lintasan kita sendiri-sendiri. Justru yang utama bukan melihat bagaimana orang-orang lain itu, tapi melihat diri sendiri. Sudah berada di jalur yang benar atau belum diri kita ini? Dan tidak mewariskan rasa bersaing ini kepada anak-anak kita. Karena, sikap kita otomatis akan ditiru oleh anak-anak kita.
Mencintai diri sendiri barangkali menjadi langkah awal untuk kita kembali ke track yang benar. Perbanyak introspeksi, dan mulai beraksi. Saat kita sudah mencintai diri sendiri, maka kita bisa membagikan cinta itu dengan siapa saja. Karena Tuhan sudah memberikan segenap cinta-Nya berupa jiwa dan raga yang sempurna, beserta segenap potensi yang ada di dalamnya. Maka tugas kita adalah bagaimana berjalan sesuai blue print kita masing-masing.