Menu Pilihan

Zakiyah Darojah

Love, Joy, Peace & Blessed

Otot Tawakal

Dulu, ibu saya pernah cerita tentang proses kelahiran saya ke dunia. Meski usia ibu saat itu sudah tidak muda, tapi saat itu proses melahirkan saya berjalan lancar, seperti proses kelahiran kakak -kakak saya. Tahu ibu saya melahirkan yang ke 10 kalinya, dokter yang menangani pasca kelahiran saya, marah. Dan menyuruh ibu saya segera melakukan KB.

“Ibu apa nggak pusing punya anak 10? Wong saya anak 2 saja pusing?” kira-kira begitu kata dokternya.

“Saya tah nggak pusing dok, wong saya punya Allah”, begitu jawab ibu saya ringan.

Ya, terkadang menurut kita beban orang lain itu berat. Tetapi ternyata belum tentu. Bisa jadi kita yang melihat orang lain berat, ternyata orang tersebut ringan saja menjalaninya. Hal ini bisa terjadi karena rasa keberserahan dirinya tinggi kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

Saya belajar soal tawakal dari ibu saya ini. Meski anaknya banyak, jaraknya hanya sekitar 2 atau 3 tahunan, terbayang repotnya mengurus anak seperti apa kan? Belum lagi kalau memikirkan biaya pendidikan dan lain-lain, pasti yang dikatakan si dokter waktu itu benar, pusiiing.

Tapi ibu saya berhasil membesarkan anak-anaknya dengan sukses. Meski kami bukan lahir dari keluarga kaya, tapi alhamdulillah tidak ada diantara kami anak-anaknya yang mati kelaparan. Tidak ada juga yang tidak mengenyam pendidikan. Dan tidak ada yang terpaksa dinikahkan muda, karena mengirit biaya hidup, hehehe. Dan hal ini terjadi, saya yakin karena ibu saya dan juga bapak saya memiliki keyakinan yang besar atas pertolongan Allah.

Tawakal artinya mewakilkan atau memasrahkan segala urusan hidup pada Allah. Bagian kita menjalani dengan laku dan optimisme yang terbaik. Jika tawakal sudah bersemayam di hati, maka sabar dan syukur akan mudah diakses, sehingga menjalani hidup pun menjadi ringan dan ikhlas.

Terkadang yang membuat kita merasa berat beban hidupnya, gundah dan galau adalah ketakutan-ketakutan kita sendiri. Takut kurang rejeki, takut penilaian orang, takut tidak bisa makan, takut masa depan, takut nasib anak-anak, takut kehilangan dan takut takut yang lainnya. Ketakutan ini yang menjadi beban, yang beratnya melebihi beban sesungguhnya. Ketakutan ini yang menjadi penjara, sehingga berserah diri menjadi bagian yang sulit.

Dulu Bapak saya kalau anak-anaknya mau berangkat belajar, suka memberikan nasihat. Semakin banyak ilmu, jangan menjauhkan dari Allah. Sebaik-baik ilmu itu yang mendekatkan diri pada Allah. Saya pikir rasanya perlu direnungkan kembali nasihat bapak saya ini. Karena di zaman yang semakin modern ini, yang segala sesuatu terasa semakin mudah, ilmu-ilmu juga bertebaran dimana-mana mudah sekali dipelajari. Peluang-peluang juga semakin terbuka lebar. Tetapi mengapa justru semakin banyak orang yang stress di zaman ini? Bisa jadi, kita semakin banyak ilmu, tetapi keyakinan kita kepada Tuhan malah semakin menipis. Kita semakin banyak ahli di berbagai bidang, tetapi tawakal kita kepada Allah semakin mengecil.

Pernahkan kita berfikir, siapa yang memberi kita kesempatan hidup? Jika Dia memilih kita hidup, maka sebenarnya semua kebutuhan hidup kita pastinya sudah disediakan. Sebagaimana keberadaan kita di rahim ibu, seperti itulah seharusnya keberadaan kita di rahim dunia. Barangkali yang kita butuhkan bukan sejumlah materi, sejumlah solusi, sejumlah bantuan tunai dan lain sebagainya, tetapi yang kita butuhkan adalah menguatkan otot-otot keberserahan diri kita, otot-otot tawakal. Karena bukan seberapa besar masalah yang dihadapi, tapi seberapa besar tawakal di dalam hati, yang menyebabkan ringan tidaknya apa yang dijalani.

Otot Tawakal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke Atas