Sering saya mendengar curhatan orang-orang. Dan meskipun terkadang tidak terkatakan secara eksplisit, namun bisa saya simpulkan, bahwa yang mereka rasakan sebagai “penderitaan”, bukan hanya kurangnya penerimaan namun juga adanya perbandingan diri dengan orang lain.
Ada yang curhat dengan blak-blakan. Bahwa dia, membuka sosial media saja tidak berani, dan akhirnya memilih menutup akun sosial medianya. Karena tidak “kuat” melihat postingan teman-temannya di sosmed. Kenapa bisa demikian? ya, karena menurut dia, teman-temannya semua ‘pamer’ kesuksesannya. Dan dia merasakan penderitaan, saat melihat teman-temannya sudah melesat lebih jauh dibanding dirinya. Ini bukan cerita rekaan, tapi ini sebuah kenyataan.
Apakah teman-temannya itu memang pamer? belum tentu juga. Namanya sosial media itu, jika mau dibilang pamer ya memang ajang pamer. Pamer keluarga, pamer foto diri, pamer makanan, pamer traveling, pamer ilmu, pamer dagangan dan lain sebagainya. Tapi sebagai ajang pamer atau bukan, itu tergantung pemaknaan kita. jika kita berpikir waras, dari postingan teman-teman kita, kita jadi tahu bahwa mereka sehat, keluarganya bahagia, karirnya bagus, dagangannya laris, bisa menyambung silaturrahim juga, dan lain sebagainya. Dan kita bisa turut bersuka cita dan bahagia atas pencapaian teman-teman kita itu. Jadi apa persepsi kita terhadap sosial media, tergantung sudut pandang kita. Dan saya yakin, kenapa sosial media masih eksis hingga saat ini, karena orang-orang mendapatkan manfaat di sana, sehingga mereka bertahan. Jika pun ada yang tidak bermain di sosial media, atau sudah bosan akhirnya menutup akunnya, tentunya itu hak dan keputusan masing-masing.
Nah, dari contoh orang tersebut di atas menunjukkan bahwa seringkali kita membandingkan diri dengan orang lain, bahkan meski hanya di dunia maya. Orang lain baik-baik saja, kitanya yang menderita. Demikian pun di dunia nyata, rasa bersaing seperti itu pasti ada di sekitar kita. Jangankan dengan orang lain, terkadang sesama saudara kandung pun ada persaingan.
Merasa harus sama atau lebih unggul dari orang lain, ini akan menyebabkan penderitaan tersendiri bagi kita. Akan menjadi kegalauan yang tak berkesudahan jika kita tidak segera sadar dan memperbaiki sudut pandang, dan memberikan makna yang yang lebih memberdayakan. Kita musti paham, hidup kita di dunia bukan arena perlombaan yang kita musti bersaing dengan orang lain, agar kita menang. Tapi hidup kita ini ajang untuk pertumbuhan jiwa kita.
Jika kita lihat bintang-bintang, planet-planet, semua memiliki lintasan orbitnya sendiri-sendiri, kita pun sama. Kita memiliki jalur edarnya sendiri-sendiri. Semua makhluk Tuhan, memiliki jalur orbitnya sendiri. Nah, terkadang kita lupa hal ini, karena sibuk menilai orang lain, dan sibuk membandingkan diri dengan orang lain.
Padahal yang musti dilakukan adalah, melihat ke dalam diri sendiri. Menerima, mencintai dan menghargai diri sendiri, sebagai karunia dari yang Maha Kuasa, ini yang terpenting. Dengan kita fokus pada diri, kita akan paham, apa si yang Tuhan mau kita lakukan? sehingga kita sibuk berbuat mengikuti tuntunan-Nya, dan tidak ada waktu untuk mengkritisi dan membandingkan diri dengan orang lain.
Perjalanan kita ini, murni perjalanan antara diri kita menuju Tuhan kita. Orangtua, pasangan, anak, saudara, teman-teman, dan orang-orang lainnya yang hadir dalam kehidupan kita, adalah sarana pengabdian kita dalam menuju Tuhan. Orang lain boleh kita jadikan sarana untuk inspirasi dan motivasi. Namun bukan untuk menjadikan kita minder dan rendah diri. Apalagi jika sampai membuat kita iri dan dengki.
Jadi, jangan habiskan waktu untuk meratapi nasib dan membandingkan diri dengan orang lain. Karena hidup ini bukan persaingan. Orang lain bukan saingan kita. Mereka adalah partner kita. Kita sama-sama sedang bertumbuh, melalui jalur orbit masing-masing, menuju Ridho Ilahi.