Menu Pilihan

Zakiyah Darojah

Love, Joy, Peace & Blessed

Perempuan dan Teknologi

Perkembangan teknologi semakin pesat dan canggih. Kemajuan teknologi informasi juga tidak dapat dibendung. Teknologi yang tahun kemarin belum ada, sekarang sudah bermunculan. Demikian juga pasti tahun mendatang juga semakin banyak lagi tercipta teknologi-teknologi baru.

Seperti yang sedang ramai saat ini adalah penggunaan open AI (Artificial Intellegent) atau kecerdasan buatan untuk membantu kinerja manusia lebih cepat dan sempurna, menggunakan chatGPT.

Penggunaan media sosial bagi masyarakat pun semakin meningkat tajam. Menurut data, ada 167 juta orang pengguna media sosial di Indonesia saat ini. Dan screentime yang dihabiskan oleh kita bisa mencapai lebih dari 6 jam per hari. Jika screentime kita hanya digunakan untuk scrol media sosial, sesungguhnya ini pebuangan waktu sia-sia yang tidak kita sadari.

Kenapa kita, terutama kaum ibu, istri dan perempuan lebih banyak menjadi obyek komoditi dari perkembangan teknologi informasi? karena kita belum mampu mengimbangi dengan skill kita, bagaimana memanfaatkan teknologi untuk sesuatu yang lebih bermanfaat.

Banyak sekali para kaum perempuan, istri dan ibu yang seperti saya, gaptek (gagap teknologi). Meski tahu teknologi itu bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, tetapi tidak mampu melakukannya karena keterbatasan skill. Terlebih jika terjadi kesenjangan pemahaman teknologi antara ibu dan anak, wah itu bisa berakibat fatal. Karena ibu tidak bisa mengontrol anak, dan anak biasanya jauh lebih pintar dari ibunya.

Inilah masalah bagi saya, dan sebagian perempuan lainnya.

Di dunia ini sudah terlalu banyak masalah. Namun masih sedikit yang mau menjadi bagian dari solusi. Termasuk masalah yang ditimbulkan dari pesatnya perkembangan teknologi. Di satu sisi, pasti ada sisi positifnya, namun di sisi lain, jika kita tidak waspada, teknologi juga bisa membunuh kita.

Seperti kita tidak tahu, pekerjaan apa yang akan hilang di tahun depan, karena semua sudah digantikan teknologi. Pekerjaan seperti apa yang akan muncul di masa depan? kita juga tidak tahu, karena semua serba unprditable.

Oleh karena itu, belajar menjadi changemaker merupakan suatu keniscayaan.

Seperti kata Bill Drayton, pendiri Ashoka “If everyone is a changemaker, there’s no way a problem can outrun a solution.” (Jika setiap orang adalah pembuat perubahan, tidak mungkin masalah dapat melampaui solusi.)

Bagaimana untuk bisa menjadi changemaker? Dibutuhkan kekuatan empaty dan compassion.

Tahun 2021, sebagai bagian dari Ibu Pembaharu, saya yang selama 10 tahun pernikahan bergumul dengan tantangan hidup belum dikaruniai anak, akhirnya memberanikan diri membuat sebuah gerakan empati untuk mendukung para pejuang garis dua, untuk mampu berdamai dan menerima tantangan hidupnya, dan mampu meneruskan hidup dengan bahagia. Terbentuklah komunitas Permata Hati, yang menaungi ratusan perempuan baik pejuang garis dua, maupun perempuan lainnya yang mau meng-upgrade diri menjadi pribadi yang utuh dan bahagia.

Ternyata, seperti sebuah kumparan listrik, semakin banyak lilitannya, semakin besar energi yang dihasilkan. Demikian juga saat kita mau untuk berbagi dan melayani, dengan kekuatan empati dan compassion, ternyata itu justru jalan kesembuhan bagi pribadi saya sendiri menjadi lebih kuat secara mental, emosi, dan spirtual.

Jadi saat kita berupaya untuk menjadi bagian dari solusi, sebenarnya yang paling pertama mendapatkan manfaat adalah diri kita sendiri.

Di bulan Juni ini, saya menantang diri saya sendiri lagi, dengan mengikuti program MIRACLE, untuk menjadi bagian dari solusi masalah saya saat ini yaitu gagap teknologi.

Meskipun gaptek, mungkin karena faktor umur juga, tetapi saya memiliki semangat untuk tidak tertinggal. Paling tidak, saya bisa memanfaatkan website, sosial media dan platform digital lainnya untuk berbagi sesuatu yang bermanfaat.

In a time of rapid change standing still is the most dangerous course of action” (Dalam masa perubahan yang cepat, diam adalah tindakan yang paling berbahaya), kata Brian Tracy.

Tepat sabtu kemarin mendapatkan suntikan energi dari ibu Rina Kusuma, Family Changemaking Movement Manager Ashoka Indonesia, yang menyampaikan materi Be A Changemaker, semakin menguatkan niat saya.

Saya yang sudah lama berkecipung di bidang literasi, ingin meng-upgrade diri untuk memasuki era literasi digital. Semoga ini menjadi solusi untuk kita para kaum perempuan yang gaptek seperti saya, untuk lebih bisa memanfaatkan perkembangan teknologi untuk kemaslahatan bersama 🤗

 

Perempuan dan Teknologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke Atas