Menu Pilihan

Zakiyah Darojah

Love, Joy, Peace & Blessed

Tentang Keinginan

Bicara soal keinginan, pasti kita semua memilikinya. Mulai dari keinginan yang sederhana, seperti makan, tidur, dan lain-lain, sampai keinginan yang besar. Di grup Komunitas Permata Hati yang saya kelola, teman-teman di sana ingin memiliki buah hati, sebagaimana halnya saya. Saya memahami bagaimana teman-teman di sana merindukan buah hati. Buah hati bagaikan oase yang dirindukan untuk meluruhkan dahaga yang mengeringkan seluruh sanubari.

Sementara di sisi lain, saya juga memahami bagaimana orang-orang yang curhat katanya cukup kesulitan mengontrol dirinya menghadapi anak-anak. Udah nggak sempet lagi merawat diri, udah nggak sempet dandan untuk suami, mana anak-anak sering memancing emosi, mana masih harus adu mulut dengan pasangan gara-gara anak, belum lagi harus memikirkan biaya itu dan ini.

Hemmm yang belum memiliki anak, ingin punya anak. Yang sudah memiliki anak mengeluh karena anaknya. Terkadang keinginan itu jadi semacam fatamorgana. Mempesona saat belum dimiliki, tetapi saat sudah dimiliki bukannya bahagia malah menderita. Jadi semacam mencari kebahagiaan semu saat menggantungkan kebahagiaan pada keinginan.

Tidak salah memiliki keinginan, karena ada keinginan itulah kita masih bisa menikmati hidup di dunia ini. Tetapi setiap keinginan, selalu ada konsekuensinya.

Contohnya, ingin punya mobil, ya konsekuensinya harus mau bayar pajak, harus bisa beli bensinnya, harus mau merawat sekala berkala ke bengkel biar mesinnya awet, kalau kredit ya mampu membayar cicilannya dll. Seringkali ingin punya mobil, ternyata cuma ingin karena untuk gaya doang. Gak bisa bayar cicilan, bahkan buat beli bensin saja tidak sanggup. Makanya ada yang punya mobil, tapi utangnya dimana-mana.

Ingin punya rumah, ya konsekuensinya harus bisa merawat, harus memenuhi kebutuhan listriknya, airnya dll, harus dijaga dan diperbaiki jika terjadi kerusakan dll. Seringnya udah punya rumah, tapi tidak dijaga tidak dirawat. Akhirnya rumahnya gampang bobrok.

Itu contoh soal keinginan terhadap benda mati saja butuh tanggungjawab ketika sudah memilikinya. Apalagi saat menginginkan punya istri/suami, ingin punya anak, dan sesuatu yang hidup lainnya. Konsekuensi yang ditanggung pasti jauh lebih besar.

Menikah, konsekuensinya ya kudu menafkahi, harus tahu waktunya tidak sebebas pas masa lajang lagi karena ada pasangan yang menunggu di rumah, harus belajar melepaskan ego biar tidak bentrok kepentingan terus terusan. Bagi perempuan mungkin musti rela melepas karier, mengurus rumah, memasak dll. Nah seringkali ingin nikah tapi tidak mau melakukan tanggungjawabnya. Tidak mau bekerja untuk menafkahi, masih terus saja egois sehingga rumah tangga terus menerus seperti neraka, tidak mau belajar menghargai sehingga terus menerus melukai, dan lain sebagainya.

Demikian pun jika menginginkan anak. Konsekuensinya ya harus merawat, membiayai, kekurangan waktu tidur karena terjaga, harus mau mendidik agar anak tumbuh dengan akhlak yang baik, harus belajar sabar karena menjaga anak butuh kesabaran dan lain lain. Seringnya, ingin punya anak tapi tidak mau membiayai, tidak mau belajar bagaimana mendidik anak yang baik, masih egois sehingga anaknya sering jadi pelampiasan egonya, tidak sabar sehingga anak sering kena marah, tidak mau memahami sehingga anak malah jadi alat untuk pembenaran menyalahkan pasangan. Merasa kuasa sehingga anak jadi alat untuk pemenuhan keinginannya. Dan lain sebagainya.

Intinya, seringkali orang menginginkan sesuatu tetapi sebenarnya tidak siap dengan konsekuensinya. Kenapa bisa begitu? Karena seringkali orang hanya melihat sisi enaknya saja, tidak melihat sisi lainnya yang juga perlu dilihat agar siap bertanggungjawab dengan konsekuensinya. Sebelum kita terlarut dalam keinginan-keinginan kita yang akan datang, kita perlu paham bahwa yang sering dilupakan adalah kesadaran untuk bertanggung jawab atas hidup kita saat ini. Karena dari sinilah kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab atas keinginan kita sendiri.

Karena keinginan itu seperti api. Keberadaannya menghidupkan, tetapi jika terlalu besar bisa membakar. Penting sekali untuk belajar bagaimana mengendalikan keinginan, agar bukan keinginan yang menguasai diri kita. Tetapi kita yang mampu menguasai keinginan kita sendiri, dan juga sadar penuh dengan konsekuensi dari keinginan kita apabila hal tersebut terwujud nantinya.

Jadi, bagaimana dengan keinginan yang anda inginkan, sudah siap bertanggungjawab dengan konsekuensinya?

Jangan sampai keinginan itu menyiksa diawal, kemudian membuat menderita saat sudah dimiliki. Lalu  Tuhan mungkin akan berseloroh, “karepmu opo?”

#KLIP
#ibuprofesionaluntukindonesia
#sinergijadiinspirasi
Tentang Keinginan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke Atas