Foto saat mengunjungi kota Zaanse Schaan Belanda
Trauma, kalau dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani. Jadi, trauma ini suatu kondisi yang dipicu oleh kejadian di masa lalu yang tidak enak. Dan hampir setiap orang memiliki trauma ini, baik ringan atau berat. Baik membawa efek negatif maupun menguntungkan. Namun kebanyakan, yang disebut trauma itu karena akibatnya kurang baik atau negatif.
Saya pun memiliki beberapa trauma yang sampai saat ini masih sulit dihapuskan. Seperti contohnya kegagapan saya dalam belajar bahasa Inggris.
Zaman saya kecil dulu, bahasa inggris itu belum diajarkan di bangku sekolah dasar, jadi saya baru mendapatkan pelajaran bahasa inggris di tingkat menengah pertama. Karena lingkungan keluarga saya itu bukan keluarga modern yang terbiasa cas cis cus memakai bahasa Inggris, jadi bahasa Inggris itu benar-benar asing bagi saya. Otomatis masuk sekolah menengah pertama belajar bahas Inggris benar-benar dari nol. Sementara pelajarannya waktu itu, sudah lumayan berat bagi saya, sehingga saya kesulitan mengikuti.
Kebetulan guru bahasa inggris saya cukup galak untuk ukuran saya waktu itu. Pada suatu waktu, saya dan teman-teman ada yang tidak bisa mengerjakan soal. Kami disuruh keluar dan mengerjakan di lapangan panas-panasan. Gemuruh hati saya, ada rasa malu luar biasa, karena baru pertama diperlakukan seperti itu, sementara kan saya dari kecil cukup berprestasi :D. Bukan hanya dimarahi yang membuat emosi saya meluap kala itu, tapi juga merasa dipermalukan itu barangkali yang sangat membekas. Dan itu tidak cukup sekali, tapi sering kami dibikin tak berdaya dan malu. Sungguh anak 11 tahun yang menderita hehe.
Sejak itu, apa-apa yang berbau bahasa Inggris seolah diri saya sudah menolak. Takut, cemas, malu campur aduk kalau pas pelajaran bahasa inggris. Sekeras apapun saya mempelajarinya mentok paling dapat nilai 7, tidak bisa lebih dari itu sebagaimana nilai pelajaran lainnya. Itu pun karena meraba-raba alias kira-kira waktu menggarap soal, aslinya juga tidak mudeng sebenarnya. Meski belajar bahasa Inggris bertahun-tahun hingga kuliah, saya tetep kesulitan. Sudah ditambah kursus juga, tapi entah kenapa, tetap berasa sulit bagi saya bahasa inggris itu. Padahal cita-cita saya kan keliling dunia 😀
Itulah contohnya sebuah trauma. Berakibat panjang dan tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam me-release-nya. Menjadi guru dan juga orangtua memang sangat tidak mudah. Bisa jadi kita turut andil membuat mental block untuk anak-anak kita. Sekali dia terluka, dan menancap ke alam bawah sadar, tidak mudah untuk menyembuhkannya.
Dan trauma ini banyak sekali wujudnya. Dan memang paling banyak terjadinya saat masih anak-anak. Orang dewasa yang ada disekitar anak-anak, sangat besar pengaruhnya kepada kejadian yang bisa membawa trauma buat si anak. Jadi kita orang dewasa yang sudah tahu akibat panjangnya sebuah trauma, mudah-mudahan lebih sadar dan lebih hati-hati dalam mendidik dan membersamai anak-anak.
Dan pada akhirnya saya cukup lega, ketika seorang kawan bilang, di luar negeri tidak wajib bisa bahasa Inggris, tubuh kita sudah sempurna. Bahasa isyarat sudah cukup. Aha benar juga. Beberapa kali mengunjungi negara lain, tidak bisa lancar berbahasa Inggris tidak jadi masalah. Namun akan lebih baik tentunya jika bisa.
Jadi, salah satu cara mensiasati trauma adalah dengan menerimanya. Menerima bahwa kejadian dulu itu merupakan bagian dari perjalanan hidup kita masing-masing. Karena semakin ditolak, justru bisa menjadi penghambat untuk diri kita sendiri. Namun jika bisa diterima, peluang-peluang pun akan mudah datang tentunya. Sebagaimana saya yang akhirnya tetap bisa mengunjungi berbagai negara, meski tanpa menguasai bahasa Inggris dengan sempurna.