Saat kita melakukan kebaikan, dan saat responnya tidak sesuai harapan, kita jengkel, itu artinya belum tulus.
Saat kita melakukan sesuatu, dan kita mengharap balas budi, meski hanya ucapan terima kasih, itu juga belum tulus.
Saat kita berteman atau membantu orang lain karena ada maunya, itu pun belum tulus.
Saat kita melakukan sesuatu, dan suka diungkit-ungkit, itu bukti belum tulus.
Saat kita percaya, dan ternyata kepercayaan kita ternodai, dan kita marah, itu berarti belum tulus.
Saat kita dipercaya, tetapi kita menghancurkannya, tanda tidak tulus.
Saat kita menjadikan orang lain sebagai obyek yang selalu bisa dimanfaatkan, itu pun tidak tulus.
Saat menerima tanggung jawab, dan suka mengeluh, itu juga belum tulus.
Bahkan, terkadang orangtua yang diibaratkan bagaikan mentari menyinari dunia (Tidak mengharapkan pamrih apa pun dari pengabdiannya) saja, masih menuntut balik jasa pada anaknya. Terlepas jika anaknya memang dengan ikhlas ingin memuliakan orangtuanya. Anak pun tidak jauh beda. Terkadang karena merasa menjadi tanggungjawab orangtuanya, akhirnya menuntut banyak hal. Kepada anak, kepada orangtua, saja masih berhitung-hitung, apalagi dengan orang lain yang tidak ada hubungan darah. Ini membuktikan, bahwa yang memiliki karakter “tulus” memang langka.
Mungkin hal ini dipengaruhi juga oleh perubahan zaman yang mempengaruhi perubahan sosial budaya dan juga karakter manusianya. Zaman yang semakin mengedepankan individualisme dan materialisme. Jadi semua diukur dari, “apa untungnya bagiku?” Meski kalimat ini tepat untuk beberapa hal, namun akan kurang tepat, jika apa-apa harus diukur dengan keuntungan pribadi. Sehingga menjadi manusia hitung-hitungan, dan jauh dari ketulusan. Bahkan konon, di kota besar, sekedar menjawab orang bertanya alamat saja sudah tidak berkenan. Bisa jadi malas, bisa jadi tidak peduli.
Dan akar dari ketulusan itu sendiri sebenarnya adalah cinta. Cinta yang murni.
Seperti kata Jalaludin Rumi, “Dengan hidup hanya sepanjang tarikan nafas jangan tanam apa-apa kecuali cinta”
Guru saya bilang, yang paling berharga di zaman seperti sekarang ini bukan emas permata. Namun yang paling berharga adalah ketulusan. Jika Tuhan memberikan orang-orang yang tulus dalam kehidupan kita, di situlah sebenarnya kita mendapatkan anugerah yang sangat besar. Nilainya jauh lebih mahal dibanding emas permata. Maka perlu disyukuri, dirawat dan dijaga.
Namun karena sulitnya menemukan orang yang tulus itu, maka mulai saja dari diri kita sendiri….berlatih menjadi pribadi yang tulus. Karena segala sesuatu memang butuh latihan.