Dulu saat saya sempit dalam hal rezeki keuangan, ternyata saya memiliki habbit atau kebiasaan yang menjadikan rezeki sulit mampir kepada saya. meskipun selalu ada, tapi tidak banyak. kebiasaan itu seperti, pelit sekali terhadap uang. Kenceng sekali megang uangnya, dan sangat perhitungan. Di setiap ada kesempatan yang berbau uang, saya harus selalu untung, tidak mau rugi. Bahkan kalau perlu bisa mengambil kesempatan yang menguntungkan saya, meskipun ada pihak yang dirugikan. Bahkan, jika berhutang, berharap yang menghutangi lupa, sehingga saya tidak perlu membayar hutang itu. Duh, malu sekali kalau melihat perilaku saya dulu itu🤦🏻♀️.
Nah, kebiasaan yang seperti itu, akan mengarah kepada seseorang memiliki mental gratisan. Saking perhitungannya dengan uang, saking pelitnya, saking prinsip harus untung, menyebabkan saya juga akhirnya berharap mendapatkan segala sesuatu dengan gratis. Misalnya, maunya pinjam tidak mau beli (hal atau barang apa pun, baik buku, peralatan rumah tangga, peralatan sepele seperti helm pun maunya pinjam). Minta oleh-oleh ke saudara atau teman yang habis jalan-jalan. Meskipun ini hanya guyonan, tapi bagi seseorang yang mental gratisan, ini adalah kesempatan. Syukur dikasih betulan, kalau enggak ya kan udah usaha, hadudu😃. Minta traktiran. Jika makan bersama teman-teman, selalu berharap ditraktir, tidak mau sesekali berniat mentraktir. Jika ada teman punya produk atau buka usaha, maunya dikasih, tidak mau melarisi dagangannya. Minta hadiah, tapi tidak pernah berpikir memberi hadiah. Dan lain sebagainya, banyak sekali contoh-contoh yang mengekspresikan mental gratisan ini.
Dulu, saya berpikir, dengan mental gratisan itu, saya mengirit pengeluaran dan untung banyak karena selalu mendapat belas kasihan dari orang lain. Hingga suatu saat saya sadar, bahwa ternyata yang menyebabkan saya miskin adalah mental gratisan itu. Bagaimana mungkin Tuhan akan memberikan rezeki yang banyak, jika kita pelit, perhitungan, selalu minta gratis, bahkan mungkin sampai merugikan harta orang lain karena sikap mental kita yang menyebalkan itu. Mental gratisan menunjukan kita sangat egois, hanya mementingkan diri sendiri. Tidak pernah memikirkan orang lain apalagi memikirkan bagaimana menguntungkan orang lain. Lalu, orang begini berharap mendapatkan banyak rezeki?
Dan saat ini, saya banyak sekali melihat orang-orang seperti saya dulu. Mintanya dapat untung banyak, nggak mau membayar harganya. Contoh, nggak mau ikut pelatihan berbayar, maunya yang gratisan. Maunya konsultasi terus menerus, mengeluh terus menerus, tapi tidak mau mengikuti pelatihan atau membeli buku yang saya jual yang isinya sangat membantu penyelesaian permaslahan hidupnya. Beli buku mintanya diskon, berat mengeluarkan uangnya. Sudah dibagikan vidio gratis yang dibuat oleh suami saya di youtube, malas nonton tapi mengeluh terus di sosial media. Dan lain-lain. Saya terkadang hanya senyum-senyum saja, jika menghadapi orang-orang seperti ini. Saya pernah berada di situ, dan satu-satunya cara agar keluar dari kubangan mental gratisan itu adalah berani membayar harganya.
Tidak ada makan siang yang gratis, bahkan hidup kita ini juga tidak gratisan. Kita hidup sampai besar karena perjuangan orangtua kita membesarkan dengan jerih payah. Kita masih sehat, karena kita berusaha membayar harganya dengan memelihara kesehatan fisik kita. Tubuh kita masih bisa beroperasi dengan normal, karena kita memberikannya asupan makanan. Selama masih mempertahankan mental gratisan, maka bisa jadi selamanya akan menjadi orang miskin. Untuk keluar dari kemiskinan, maka perlu memiliki mental kaya, mental berkelimpahan.
Apakah orang miskin (dalam artian kekurangan harta) akan selalu bermental gratisan? tidak juga. Ada diantara mereka yang tetap memiliki harga diri dan kehormatan, dengan tidak merendahkan dirinya di hadapan makhluk lainnya. Untuk orang semacam ini, saya acungkan jempol. Kekurangan hartanya, tidak menyebabkan dia meminta-minta. Jika ada orang seperti ini, tentunya mereka tidak egois. Namun biasanya, yang saya temui, orang-orang yang kurang harta ini pada akhirnya mereka selalu mengeluh, dan meminta belas kasihan orang lain. Nah, yang seperti ini adalah mereka yang akan cenderung memiliki mental gratisan.
Allah Sang Maha Kaya, tidak egois, beliau selalu memikirkan bagaimana menghidupi makhluk-makhluknya. Manusia yang memiliki sifat mental kaya, pasti dia akan memikirkan bagaimana memberi keuntungan untuk orang lain. Bukan hanya berpikir, apa yang saya peroleh? tapi berpikir apa yang bisa saya berikan?
Bisanya membeli dagangan teman, ya belilah. Bisanya merekomendasikan keahlian teman, ya rekomendasikanlah. Bisanya sedekah seribu rupiah, ya sedekahkanlah. Bisanya memberi nasi 1 piring, ya berikanlah. Keberanian untuk memberi, adalah langkah awal untuk memiliki mental berkelimpahan, bukan mental gratisan. Setelah berani memberi, maka lama-lama akan dimampukan untuk membayar. Dengan kemampuan membayar, maka akan dimampukan untuk memberi lebih besar lagi. Dan ada kebahagiaan yang sangat besar, jika kita dimampukan untuk memberi. Yang itu tidak dirasakan oleh mereka yang hanya berharap mendapatkan.
Jika pun tidak ada sesuatu yang bisa untuk diberikan, apalagi untuk membayar, paling tidak janganlah meminta-minta belas kasihan orang lain. Jika mau meminta belas kasih, cukup kepada Allah saja, jangan kepada mahkluk. Minta oleh-oleh, minta gratisan, minta traktir, minta diskon dengan penawaran yang tidak masuk akal, itu ciri-ciri orang yang meminta belas kasihan orang lain. Karena sejatinya yang memberi rezeki, yang memampukan kita itu Allah, maka kepada manusia hendaknya kita tidak merendahkan diri sendiri.
Semoga dengan mengubah minsdet kita dari mental gratisan menuju mental berkelimpahan, akan semakin membuat kita dimampukan dan dikaruniai rezeki yang cukup dan berlebih agar lebih mudah lagi untuk membantu sesama.😊
Satu tanggapan pada “Mengubah Mental Gratisan Menjadi Mental Berkelimpahan”