Musibah atau Berkah ?

 

Barangkali banyak diantara anda mendambakan keberkahan. Artinya bertambahnya kebaikan dalam hidup setiap hari. Sehingga jika pas mengalami “jatuh”, akan merasakan itu sebagai musibah. Jika dalam teori perputaran energi, yang anda bisa baca di sini. Salah satu kemungkinan, seseorang mengalami “jatuh” adalah karena hasil tabungan energi negatif dirinya sendiri. Meskipun bisa juga, hal itu terjadi bukan karena tabungan energi negatifnya, tapi sebagai bentuk penggemblengan agar orang tersebut naik derajatnya, dan mulia hidupnya dengan karakter yang dikuatkan melalui ujian tersebut. Seperti kisah para nabi dan utusan. Pembedanya, bisa dilihat dari sikap dalam menghadapi kejadian tersebut. Apakah banyak mengeluh, atau bisa legowo sebagai bentuk luasnya hati. Dan kejadian “jatuh” itu terjadi juga bisa karena faktor lain. Karena sesuatu terjadi merupakan irisan dari banyak sekali faktor-faktor, wallahu’alam.

Dan jika kita memakai asumsi pertama, bahwa bisa jadi yang disebut musibah itu, akibat perilaku orang itu sendiri di masa lalu. Misalnya menipu, menjahati orang, melukai pasangan, berbuat curang demi keuntungan pribadi, berbuat tidak adil pada anak, durhaka pada orangtua, apalagi jika sampai menghilangkan nyawa orang lain dan lain sebagainya. Maka sebenarnya itu bukan musibah, tetapi sebuah jalan pembersihan.

Kenapa perlu pembersihan? agar orang tersebut mengalami pemurnian kembali dan mendapat pelajaran. Pelajaran atau hikmah ini kedudukannya sangat tinggi. Tidak semua orang bisa dengan mudah mengambil hikmah, ya kerena hikmah ini mahal dan tinggi harganya, hanya diberikan pada orang-orang  tertentu yang menggunakan akalnya, sebagaimana firman Allah berikut,

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. (QS. AlBaqoroh: 269)

 

Pada dasarnya, orang yang “jatuh” itu akan terbersit di dalam hatinya kesalahan apa yang diperbuat. Dan orang yang akan diberikan hikmah, saat mendapati dirinya “jatuh”, akan segera introspeksi dan menyadari kesalahannya. Ia menyesali perbuatannya yang keliru di masa lalu dan menghiasi hari-harinya dengan perbuatan yang baik. Sementara ia yang belum dikaruniai hikmah, tidak akan menjadikan peristiwa musibah itu sebagai jalan introspeksi diri. Meskipun di dalam hatinya terbersit tentang kesalahannya, namun ia tidak peduli. Karena tertutup nuraninya oleh nafsunya sendiri. Bisa jadi malah akan semakin larut dalam kesalahan-kesalahan yang lainnya.

Maka, jika ada yang tengah mengalami “jatuh” jalan yang terbaik adalah segera menyadari kekeliruannya, dan menjadikan moment tersebut sebagai jalan menemukan hikmah. Jika hal tersebut terjadi, maka yang disebut musibah itu sebenarnya tidak ada. Karena yang disebut musibah di masa lalu, bisa jadi jalan menemukan berkah di saat ini atau di masa yang akan datang. Sebuah musibah menjadi jalan terbukanya pintu berkah, bagi mereka yang berakal.

Musibah atau Berkah ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke Atas